Perpustakaan sekolah
dasar. Entah apa yang membawaku kembali kesana. Layaknya perpustakaan pada
umumnya, disana aku bisa menjumpai banyak buku. Buku-buku tua yang umurnya
bahkan melebihi umurku, atau jika aku lebih teliti, disana bisa juga kujumpai
buku-buku baru yang bahkan akhir ceritanya masih menggantung di se-per-enam jilid.
Tiap buku disana memiliki nama. Sebuah buku dari baris rak yang tingginya jauh
melebihi tubuhku (sekitar 180cm – lebih), jatuh. Aku menangkapnya, sebelum buku
itu hampir cacat menghantam lantai. Arka (1994-2000, updated 2011), disampul
buku itu tertulis. Yah, itulah kali pertama aku menemukannya (kembali).
Dulu, jauh sebelum hari
ini, aku pernah melihat buku itu. Hanya satu kesan terdalam yang dapat kuingat
tentang buku berjudul Arka, ‘benci’. Yah, kala itu aku sungguh membencinya.
Melihat sampulnya saja aku enggan. Tapi, hari ini, nyata-nya aku malah
menyelamatkan buku itu dari jatuh, padahal jika aku mau, bisa saja kubiarkan
buku itu jatuh, biar rusak sejadi-jadinya. Tapi, tidak. Aku justru mencari buku
itu beberapa tahun lalu tanpa alasan jelas dan saat aku berhasil menemukannya
kembali, aku tidak punya alasan untuk membiarkan buku itu rusak, apalagi cacat.
Baiklah, aku ingin tahu
apa isi buku berjudul Arka itu. Beberapa cerita didalamnya masih familiar,
karena well..ada namaku disana. Lucunya, tidak ada hal baik yang bisa
dibanggakan tentang itu. Hanya cerita pertengkaran lampau dan beberapa perang
dingin.
Aku masih
membalik-balik halaman dalam buku itu, karena well…beberapa halaman didalamnya
tidak bercerita. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah bab cukup tebal dengan
susunan kertas-kertas lecak dihampir seluruh halamannya. Ada beberapa bagian yang
terlihat seperti hampir habis dibakar, atau bahkan ada pula yang penuh dengan
noda lembab. Bab itu bertuliskan sebuah nama. Nama seorang wanita. Dengan
melihatnya saja aku bisa tahu, seberapa besar peran bab itu untuk buku berjudul
Arka. Bagaimana tidak? Setiap baris, setiap kalimat, setiap paragraf, nama yang
sama berdiri angkuh diantara kata-kata didalamnya. Dan fakta, bab yang satu itu
seperti jantung yang masih berdetak dalam buku itu, hingga kini.
Aku tak tahu, kenapa
aku masih terus membaca bab yang satu itu tanpa henti, meski mata kadang terasa
lelah, perih, hingga bukan lagi air mata yang menetes, tapi ribuan semut
berjejalan membanjiri wajah keluar dari mataku. Tapi, seperti yang
sudah-sudah…aku memerintahkan bibir dan lidahku yang pintar memanipulasi
kebenaran hati, untuk merayu mata agar kuat menahan perih.
Perih. Itu yang sering
kali merajam mataku tiap kali kubuka lembar demi lembar. Karena well…lagi lagi
nama wanita yang sama masih berlarian didepan mataku. Lucunya, perih ini tidak
mampu melahirkan dendam, malah justru menumbuhkan sadar hingga aku berkata pada
diriku sendiri, “akan kumasukan buku ini di list buku favoritku”.
Belakangan ada perasaan
pekat yang meletupkan hasratku untuk menulis coretan kecil bertuliskan ‘rindu’ pada
space-space kosong pada buku itu. Yah, sepertinya aku terlalu menyukai buku
itu, hingga tau-tau sudah tertulis saja bait lengkap ‘lagu rindu’ oleh tarian
tanganku. Bahkan kali itu mulut seirama mengiri dengan senandung. Namun, masih
saja tidak merubah apapun, bahwa yang tertulis disana adalah nama wanita lain.
Perih, namun membencinya saja aku tak bisa. Aku terlalu lapang. Mungkin aku
akan hancur andai saja halaman akhir dari buku itu masih bertuliskan wanita
yang sama, namun jika dengan hancurku itu mampu menutup cerita buku itu dengan
akhir bahagia, aku rela. Setidaknya dengan begitu aku bisa percaya bahwa ‘happy
ending’ itu possible dan bukan semu semata.
Ah…rasanya aku ingin
memiliki buku ini. Ingin kubawa diam-diam, memasukannya dalam tas, lalu kubawa
pulang. Akkkhh…tapi aku tidak bisa! Aku bukan pecudang licik yang mampu
melakukah hal curang seperti itu. Hatiku
bergejolak, carut marut! Satu sisi sungguh aku menyukai buku itu dan ingin
membawanya pulang, namun di lain sisi, aku tahu rasa suka ku itu terlarang dan
aku akan melakukan hal yang salah, berdosa kalau aku lebih memenangkan
perasaanku itu.
Dalam persimpangan hati
dan nalar, aku berlari, berlindung, memohon petunjuk pada sang Maha penulis
cerita (read: ALLAH), tepat saat gerhana bulan (sat-nite, dec 10th2011).
Dalam doaku, aku hanya berkata, “Tuhan, kau tahu benar, sebentar lagi aku akan
ulang tahun, sungguh aku tidak meminta limpahan harta atau apapun yang
berlebih, cukuplah kau hadiahkan aku sebuah buku dengan bunga mawar yang
terselip diantara ruas halamannya. Tuhan, jika aku belum menemukannya maka
pertemukanlah, jika buku itu masih jauh dari jangkauanku maka dekatkanlah,
satukanlah aku dengan buku yang kau pilihkan untukku dengan agamaku agamaMu,
Islam”, aku berhenti sejenak menahan air mata lalu melanjutkan perkataanku, “Tuhan
jika buku berjudul Arka itu memang untukku maka dekatkanlah, namun jika memang
buku itu bukan untukku maka jauhkanlah dan yakinkan aku bahwa itu bukan hak-ku”.
Sesaat setelah
kulantunkan doa itu, aku pun menanamkan tegar dalam-dalam. Aku menuliskan
sebuah lagu, lalu menyelipkannya pada salah satu halaman buku itu sebagai
teriakan akhir dari puing-puing suka yang baru saja akan kumusnahkan. Belum
sempat kuselipkan, kertas bertuliskan lagu yang mewakili perasaanku itu sudah
lebih dulu dirampas angin. Terbang. Hilang. Kala itu aku berpikir, mungkin
inilah pertanda yang bisa kujadikan alasan untuk berhenti berusaha menjadikan
buku itu milikku. Malam itu aku menyerah. Aku bertekad bahwa cukuplah aku hanya
sebagai pengunjung setia yang sesekali datang
untuk sekedar memandangi buku itu, bukan untuk menjadikannya milikku.
Namun Sang Maha penulis
ternyata memberiku petunjuk lain. Jelas. Tiba-tiba, buku itu tertiup angin
hingga membawa lembarannya ke sebuah halaman. Lembar baru. Ada sebuah kata
ditulis dengan ukuran huruf kecil dan sedikit bergetar. Dan kata itu
bertuliskan, namaku, ‘d-e-a-s-y’.
No comments:
Post a Comment