ABOUT

ABOUT

Tuesday, December 13, 2011

Arka (1994-2000, updated 2011)





Perpustakaan sekolah dasar. Entah apa yang membawaku kembali kesana. Layaknya perpustakaan pada umumnya, disana aku bisa menjumpai banyak buku. Buku-buku tua yang umurnya bahkan melebihi umurku, atau jika aku lebih teliti, disana bisa juga kujumpai buku-buku baru yang bahkan akhir ceritanya masih menggantung di se-per-enam jilid. Tiap buku disana memiliki nama. Sebuah buku dari baris rak yang tingginya jauh melebihi tubuhku (sekitar 180cm – lebih), jatuh. Aku menangkapnya, sebelum buku itu hampir cacat menghantam lantai. Arka (1994-2000, updated 2011), disampul buku itu tertulis. Yah, itulah kali pertama aku menemukannya (kembali).

Dulu, jauh sebelum hari ini, aku pernah melihat buku itu. Hanya satu kesan terdalam yang dapat kuingat tentang buku berjudul Arka, ‘benci’. Yah, kala itu aku sungguh membencinya. Melihat sampulnya saja aku enggan. Tapi, hari ini, nyata-nya aku malah menyelamatkan buku itu dari jatuh, padahal jika aku mau, bisa saja kubiarkan buku itu jatuh, biar rusak sejadi-jadinya. Tapi, tidak. Aku justru mencari buku itu beberapa tahun lalu tanpa alasan jelas dan saat aku berhasil menemukannya kembali, aku tidak punya alasan untuk membiarkan buku itu rusak, apalagi cacat.

Baiklah, aku ingin tahu apa isi buku berjudul Arka itu. Beberapa cerita didalamnya masih familiar, karena well..ada namaku disana. Lucunya, tidak ada hal baik yang bisa dibanggakan tentang itu. Hanya cerita pertengkaran lampau dan beberapa perang dingin.

Aku masih membalik-balik halaman dalam buku itu, karena well…beberapa halaman didalamnya tidak bercerita. Hingga akhirnya aku menemukan sebuah bab cukup tebal dengan susunan kertas-kertas lecak dihampir seluruh halamannya. Ada beberapa bagian yang terlihat seperti hampir habis dibakar, atau bahkan ada pula yang penuh dengan noda lembab. Bab itu bertuliskan sebuah nama. Nama seorang wanita. Dengan melihatnya saja aku bisa tahu, seberapa besar peran bab itu untuk buku berjudul Arka. Bagaimana tidak? Setiap baris, setiap kalimat, setiap paragraf, nama yang sama berdiri angkuh diantara kata-kata didalamnya. Dan fakta, bab yang satu itu seperti jantung yang masih berdetak dalam buku itu, hingga kini.

Aku tak tahu, kenapa aku masih terus membaca bab yang satu itu tanpa henti, meski mata kadang terasa lelah, perih, hingga bukan lagi air mata yang menetes, tapi ribuan semut berjejalan membanjiri wajah keluar dari mataku. Tapi, seperti yang sudah-sudah…aku memerintahkan bibir dan lidahku yang pintar memanipulasi kebenaran hati, untuk merayu mata agar kuat menahan perih.

Perih. Itu yang sering kali merajam mataku tiap kali kubuka lembar demi lembar. Karena well…lagi lagi nama wanita yang sama masih berlarian didepan mataku. Lucunya, perih ini tidak mampu melahirkan dendam, malah justru menumbuhkan sadar hingga aku berkata pada diriku sendiri, “akan kumasukan buku ini di list buku favoritku”.

Belakangan ada perasaan pekat yang meletupkan hasratku untuk menulis coretan kecil bertuliskan ‘rindu’ pada space-space kosong pada buku itu. Yah, sepertinya aku terlalu menyukai buku itu, hingga tau-tau sudah tertulis saja bait lengkap ‘lagu rindu’ oleh tarian tanganku. Bahkan kali itu mulut seirama mengiri dengan senandung. Namun, masih saja tidak merubah apapun, bahwa yang tertulis disana adalah nama wanita lain. Perih, namun membencinya saja aku tak bisa. Aku terlalu lapang. Mungkin aku akan hancur andai saja halaman akhir dari buku itu masih bertuliskan wanita yang sama, namun jika dengan hancurku itu mampu menutup cerita buku itu dengan akhir bahagia, aku rela. Setidaknya dengan begitu aku bisa percaya bahwa ‘happy ending’ itu possible dan bukan semu semata.

Ah…rasanya aku ingin memiliki buku ini. Ingin kubawa diam-diam, memasukannya dalam tas, lalu kubawa pulang. Akkkhh…tapi aku tidak bisa! Aku bukan pecudang licik yang mampu melakukah hal curang  seperti itu. Hatiku bergejolak, carut marut! Satu sisi sungguh aku menyukai buku itu dan ingin membawanya pulang, namun di lain sisi, aku tahu rasa suka ku itu terlarang dan aku akan melakukan hal yang salah, berdosa kalau aku lebih memenangkan perasaanku itu.

Dalam persimpangan hati dan nalar, aku berlari, berlindung, memohon petunjuk pada sang Maha penulis cerita (read: ALLAH), tepat saat gerhana bulan (sat-nite, dec 10th2011). Dalam doaku, aku hanya berkata, “Tuhan, kau tahu benar, sebentar lagi aku akan ulang tahun, sungguh aku tidak meminta limpahan harta atau apapun yang berlebih, cukuplah kau hadiahkan aku sebuah buku dengan bunga mawar yang terselip diantara ruas halamannya. Tuhan, jika aku belum menemukannya maka pertemukanlah, jika buku itu masih jauh dari jangkauanku maka dekatkanlah, satukanlah aku dengan buku yang kau pilihkan untukku dengan agamaku agamaMu, Islam”, aku berhenti sejenak menahan air mata lalu melanjutkan perkataanku, “Tuhan jika buku berjudul Arka itu memang untukku maka dekatkanlah, namun jika memang buku itu bukan untukku maka jauhkanlah dan yakinkan aku bahwa itu bukan hak-ku”.

Sesaat setelah kulantunkan doa itu, aku pun menanamkan tegar dalam-dalam. Aku menuliskan sebuah lagu, lalu menyelipkannya pada salah satu halaman buku itu sebagai teriakan akhir dari puing-puing suka yang baru saja akan kumusnahkan. Belum sempat kuselipkan, kertas bertuliskan lagu yang mewakili perasaanku itu sudah lebih dulu dirampas angin. Terbang. Hilang. Kala itu aku berpikir, mungkin inilah pertanda yang bisa kujadikan alasan untuk berhenti berusaha menjadikan buku itu milikku. Malam itu aku menyerah. Aku bertekad bahwa cukuplah aku hanya sebagai pengunjung setia yang sesekali datang  untuk sekedar memandangi buku itu, bukan untuk menjadikannya milikku.

Namun Sang Maha penulis ternyata memberiku petunjuk lain. Jelas. Tiba-tiba, buku itu tertiup angin hingga membawa lembarannya ke sebuah halaman. Lembar baru. Ada sebuah kata ditulis dengan ukuran huruf kecil dan sedikit bergetar. Dan kata itu bertuliskan, namaku, ‘d-e-a-s-y’.



No comments:

Post a Comment