ABOUT

ABOUT

Tuesday, November 27, 2012

Magic Dust and The Wings Man



"Allah pasti menciptakanku begitu istimewa.."
(Adr)



----------------------------
Ini cerita tentang..



Sekantong Serbuk Ajaib
-adr-
---------------------------------------------------


Tuhan mengutusku ke bumi. Sekantung serbuk ajaib Ia titipkan padaku. Meskipun hanya sekantung, tetapi serbuk di dalamnya tidak akan pernah habis meski kutabur ratusan kali. Mungkin karena itu pula kenapa isi di dalam kantung itu dinamakan serbuk ajaib.





Dengan bahasa tanpa suara Ia berbisik melalui kalbu, menitahkan sebuah amanah padaku. Kelak saat aku diturunkan ke bumi, serbuk ajaib yang Ia titipkan padaku itu harus kutabur setiap hari, begitulah Ia berpesan, sebelum akhirnya Ia menambahkan bahwa serbuk ajaib itu harus ditaburi pada tiap-tiap hati retak yang kutemui. Tuhan sempat menyebutkan –yang merupakan jawaban dari pertanyaanku mengenai hati retak di muka bumi,

“Karena di dunia yang kau pijaki nanti –bumi, akan ada banyak sekali hati yang dahaga merindu kasih-Ku. Hati-hati yang hampa, patah, terluka, atau bahkan hampir mati. Hati-hati itu terlalu usang akan kemabukan bumi, hingga hati-hati itu lupa siapa Penciptanya. Hati-hati yang terlalu buta sadarnya, bahwa mereka punya Aku, bahwa Aku tidak pernah tidur, bahwa Aku sedekat urat nadi mereka, jika saja mereka mau kembali menemui-Ku.”

Dari pembicaraan kami, aku tahu ini tidak akan mudah.





***




Makhluk dengan sayap dipunggung datang menghampiriku sesaat Tuhan beranjak pergi. Bulu-bulu putih disayapnya memendarkan kilau tiap kali angin menyapu manja punggungnya.

Makhluk penghuni firdaus itu duduk disampingku, tubuhnya yang bercahaya membuatku begitu silau hingga harus menyipitkan mata, terpaksa mengintip melalui ujung sudut mataku. Mungkin karena memang bukan makhluk bumi maka ia terlihat berbeda.

Tubuhnya terlalu kurus dan tak pula terlalu tinggi untuk ukuran pria bumi. Rambutnya yang hitam terlihat menjadi keemasan tiap kali cercah sinar memilin lembut tiap helainya. Pria bersayap itu mengalungkan lengan kanannya ke lingkar pundakku. Dengan mata yang masih menyipit silau, aku meraba wujudnya dengan keterbatasan indera perasa. Seketika ada rasa teduh yang begitu pekat mengalir ke sukma kala kulit pucat serupa rembulan itu bersentuhan dengan punggung leherku. Tuhan pasti memilih kain sutra terbaik yang pernah ada di galaksi atau bahan lain yang tak kalah dashyat lembutnya saat menciptakan pria yang menyebut dirinya malaikat ini.

Malaikat itu tak banyak bicara, atau lebih tepatnya cara ia berbahasa jauh berbeda dengan caraku yang lebih menggunakan lisan. Yah..malaikat itu tidak bersuara, tetapi melalui sentuhan, caranya mengedipkan mata, dan dari caranya tersenyum itu sudah menjadi sebuah bahasa berfrase.

Atas kuasa Tuhan dari diamnya malaikat aku mendapati ia berkata,

“Apa yang Tuhan amanahkan padamu mungkin tidak mudah. Dan tidak akan pernah mudah. Karena retakan yang hilang pada hati-hati di bumi yang kau sembuhkan nanti itu tak lantas begitu saja lenyap. Retakan itu akan tetap ada. Hanya saja bukan lagi pada mereka, melainkan berpindah ke hatimu. Dan retakan itu akan terus bertambah tiap kali serbuk ajaib itu kau tabur “ –pria itu berbahasa melalui setetes air yang jatuh dari matanya. Air mata yang beningnya jauh melebihi kristal yang bisa manusia temukan di seluruh penjuru bumi.

Ketakutan yang begitu dalam berlarian deras menyatu bersama butiran keringat yang menyembul dari  balik pori-pori sekujur kulitku. Ketakutan yang mulai merajai batin dan hampir mengikis habis delapan puluh persen keberanianku dalam seketika itu, sempat memukulku mundur. Aku kehilangan diriku. Lepas kendali. Untuk pertama kalinya selama Tuhan menciptakanku, aku meragukan kemampuanku sendiri, meragukan kepercayaan Tuhan padaku atas amanah-Nya.  Aku tak yakin, aku sanggup.

Saat kepala tertunduk, pikiran masih saja tak selaras dengan sikap diamku. Ketakutanku yang begitu solid semakin liar mencabuki isi kepala, membuatnya menetaskan ketakutan beruntun yang setema.  

Tepat disaat aku dibuat hampir hilang akal, malaikat itu kembali berbicara –kali ini melalui sebuah kecupan dikeningku sebelum akhirnya ia menghilang diujung cahaya,

“Benar. Semakin besar tanggung jawab yang diamanahkan maka akan semakin mahal harga pengorbanan yang harus diikhlaskan. Namun, (saat) Tuhan memilihmu (itu) bukan karena tanpa alasan. Kau mungkin lupa bahwa Tuhan tidak pernah salah, bahwa Ia Maha Tahu. Namun Tuhan tidak pernah lupa, siapa dirimu. Dan Tuhan tahu bahwa, kau…. istimewa. Ia menciptakanmu jauh lebih istimewa dari hati-hati di bumi yang akan kau sembuhkan dengan serbuk ajaib itu. Karena Tuhan tahu, pada tiap retakan yang kau bawa pada hatimu hanya akan menumbuhkan rindumu pada-Nya.

“Dan sesungguhnya tak ada yang perlu ditakutkan jika kau mengingat apa yang Tuhan katakan padamu sebelumnya. Bahwa kau punya Tuhan, bahwa Tuhan tidak pernah tidur, dan bahwa Tuhan ‘sesungguhnya’ sedekat urat nadi-mu. Dan yang perlu kau lakukan hanya kembali menemui-Nya. Lalu ketakutanmu itu pun akan sirna.”

Aku meresapi tiap kata, menanamnya dalam-dalam ke sisa-sisa keberanianku yang sudah tipis, hingga mengakar ke alam bawah sadarku. Alam bawah sadarku itulah yang kelak akan menjemputku kembali untuk mengingat-Mu. Tuhanku, Allah.





--------------------------



Bumi.

Sudah dua puluh tiga tahun lebih setelah Tuhan mengirimku ke sini. Selama itu pula jelas kian terlihat kebenaran ucapan-Nya. Kadang jika ingat hal itu, rasa-rasanya aku ingin segera kembali ke sisi-Nya.

Tuhan sudah pernah memperingatiku tentang makhluk bumi, sebelum akhirnya aku dibuat seolah seragam seperti mereka, para makhluk bumi. Dengan wujud yang serupa namun tetap tak sama, dengan nafsu ciri khas makhluk bumi, lengkap dengan akal yang sengaja Tuhan berikan pada manusia sebagai pembeda dari makhluk lain, agar mereka tetap seimbang. Lucunya yang aku perhatikan dari makhluk-makhluk bumi yang disebut dengan manusia itu –yang juga merupakan (huff) jenisku, justru semakin terlihat mirip dengan makhluk-makhluk yang hanya dianugrahkan Tuhan dengan nafsu. Akal mereka bukannya hilang dicuri makhluk luar angkasa atau habis dimakan predator, namun kemiskinan iman mereka yang menjadikan akal terlalu runcing, membiarkan nafsu mereka menusuk mati nurani, membuat mereka kian jauh dari Tuhan.

Aku sudah sering melihat manusia-manusia seperti itu yang kadang membuatku muak, tapi kali ini aku tidak akan membahas tentang mereka.

Jauh sebelum hari ini aku masih sibuk memecahkan misteri kantong serbuk ajaib yang Tuhan maksud. Seperti apa wujudnya, bagaimana aromanya, atau seberapa magis serbuk ajaib itu bekerja. NIHIL! Kantong serbuk ajaib itu tidak pernah benar-benar ada dalam genggaman tanganku. Bahkan aku benar-benar polos tanpa sehelai benang pun saat Tuhan mengirimku ke bumi.

Lalu apa sebenarnya serbuk ajaib itu??




***




Suatu malam aku mendapati imanku tersungkur di titik terendah. Sempat terpikir kalau aku akan pensiun dini dengan menyalahi aturan Tuhan, mengambil jalan pintas agar segera kembali ke sisi-Nya. Bumi benar-benar membuatku jengah! Beruntung aku tidak sebodoh itu, karena pastinya itu hanya akan membuatku menjadi salah satu tahanan malaikat Malik.

Seperti biasa, tiap kali jatuh pada titik itu, sinyal ketidakberdayaanku menahan perih retakan meraung kencang, membunyikan lonceng alam bawah sadarku agar terbangun dari tidurnya sehingga bisa sesegera mungkin menjemputku untuk kembali mengingat perkataan sang pria bersayap. Bahwa Tuhan begitu dekat dan aku hanya terlalu rindu pada-Nya, seperti biasa.

Kali itu aku kembali menemui-Nya dalam sujud sepertiga malam. Lagi. Namun lebih lama dari kali terakhir aku menemui-Nya. Aku bercerita tentang kepedihanku. Lucu terkadang mengingat aku bisa menangis sehisteris itu tiap kali berbicara pada-Nya, sementara air mataku selalu saja menguap sebelum sempat menetes tiap kali bercerita tentang pedihku pada jenisku –manusia. Dan ajaibnya, Tuhan selalu bisa membuatku seratus kali jauh lebih tenang sekalipun itu hanya pembicaraan satu arah. Tuhan selalu begitu semenjak aku menjadi bagian dari bumi. Tidak banyak bicara. Tapi aku tahu Ia mendengarku dan akan menjawab apapun pertanyaanku sekalipun aku tak membubuhkannya pada doaku. Jadilah kali itu aku menanyakan perihal kantong serbuk ajaib yang masih saja tak kumengerti. Dan seperti biasa, Ia masih tidak bicara.



****

 


Di malam yang sama, Tuhan mengutus makhluk berjubah turun dari langit. Kain yang membalut tubuhnya begitu benderang, seolah jutaan bintang di angkasa bergelantungan ditiap serat benangnya. Makhluk itu mengetuk pintu mimpi, menemuiku ditengah padang rumput berwarna ungu. Hanya di dalam mimpi aku bisa menjumpai rumput alami berwarna ungu dan hanya di dalam mimpi pula mungkin aku bisa menemukan rerumputan yang empuknya seperti tumpukan bulu angsa kelas satu saat tubuh kutelentangkan di atas hamparannya.

Aku tidak terkejut sama sekali saat akhirnya makhluk berjubah itu berdiri dihadapanku. Ia menjatuhkan tubuhnya ke rerumputan dengan cara anggun khas-nya. Aku merebahkan kepalaku diatas pangkuannya kemudian, agar bisa lebih jelas melihat wajahnya. Tapi sama seperti sebelumnya, ia masih saja terlalu silau untuk kukagumi pesonanya dengan kelopak mata terbuka penuh. Wajah rupawan yang tidak mampu ditandingi makhluk bumi itu tersenyum padaku, tipis, namun masih sama menyejukannya dengan senyum terakhir dalam ingatanku.

“Djuha…”, nama malaikat itu tersebut begitu saja dari bibirku. Sebelumnya aku tidak pernah tahu bahwa malaikat yang satu itu juga mempunyai nama, tapi aku rasa jika memang ia punya, sudah pasti Djuha adalah namanya karena pada detik itu ia menoleh, menundukan kepalanya sehingga pandangan mata kami bertemu.

Aku suka namanya. Mengingatkanku pada salah satu sholat sunah yang hampir tidak pernah lalai ku amalkan. Salah satu sholat yang kusukai. Sholat sunah yang selalu mampu bangkitkan gairah untuk memulai hariku. Sholat sunah yang entah kenapa selalu bisa menentramkan hati dan menerbitkan senyumku, layaknya matahari yang kian terangkat diujung batas waktu dhuha. Dan sama seperti halnya sholat Dhuha, Djuha menetramkanku dalam pangkuannya.

“Aku sedih Djuha…”, suaraku kian lirih.

Djuha tidak bersuara seperti biasanya, namun dari caranya membelai rambutku, ia bertanya tentang apa yang telah membuatku sedih.

Aku tahu, sebenarnya Djuha mengerti sekali apa yang kumaksudkan, karena itulah Tuhan mengirimnya padaku kali ini. Namun, aku memutuskan untuk melanjutkan ceritaku.

“Salah satu makhluk bumi membuatku sedih Djuha. Manusia itu membuatku jatuh cinta padanya, namun ia meninggalkanku”, ada getar yang amat pilu pada intonasi suaraku. Aku berhenti sejenak, menarik napas panjang karena dadaku terlalu sesak mengingat kejadian itu. Butuh lebih banyak oksigen untuk menstabilkan denyut nadiku saat napas mulai terputus-putus menahan tangis.  

“Aku tahu ini bukan yang pertama. Aku sudah sering mengalami hal seperti ini dan seharusnya aku tidak perlu terkejut melihat ujung ceritanya. Semua ini terlalu mudah untuk dibaca, layaknya roda yang berputar pada siklus berjudul sama. Dan harusnya aku sudah terbiasa dengan rasa sakitnya. Namun, kenapa masih saja terasa perih? Masih saja tak jauh lebih mudah dari yang sebelumnya??”.

Aku menahan napas, namun air mataku sudah terlanjur jatuh dipangkuannya. “Kenapa semua ini terjadi padaku, Djuha? Aku sudah berusaha menjadi orang yang baik, bahkan aku menjelma seratus kali lebih baik dalam memperlakukan mereka, tapi kenapa yang kudapat malah luka?? Kenapa Djuha??? Kenapa harus aku????”.

Aku memejamkan mata, memiringkan kepala untuk sembunyikan genangan air mataku yang siap meluap darinya, yang aku tahu sebenarnya percuma karena ia akan tetap saja tahu walau kututup-tutupi.

“Karena kau istimewa…”, Djuha mengecup keningku. Aroma yang begitu harum dan memabukan terhirup dari udara di sekitar hidungku, sesaat detak jantungku berhenti, kian takluk akan pesona malaikat yang satu itu.

“Jika aku istimewa, kenapa Tuhan memberiku cobaan sesulit ini? Apa karena aku tidak pantas dicintai maka manusia-manusia itu selalu saja mematahkan hatiku? Atau…apa karena Tuhan terlalu membenciku sehingga Ia membuat mereka meninggalkanku??

“Ini pedih, Djuha! Ini tidak mudah!!”, aku memberanikan diri menatap wajahnya, menahan silau dengan mata terbuka lebar walau hanya sepersekian detik.

Djuha benar-benar tampan.

Dalam belaiannya ia berusaha meluruskan apa selama ini sulit kupahami,

“Karena kau istimewa, sayang. Tuhan terlalu mencintai-Mu, karena itu Ia memilihmu. Dengan memilihmu, kau akan selalu merindukan-Nya. Rapuhmu-lah yang akan membuat imanmu kepada-Nya tak pernah kering. Saat Ia memberimu cobaan, itu bukan benci, tapi karena Tuhan terlalu rindu pada-Mu, karena terkadang sifat manusiamu sering kali melalaikan-Nya saat Ia memberimu terlalu banyak kebahagiaan.

“Cobaan adalah salah satu cara Tuhan untuk merangkulmu kembali, agar kau tetap menjadi ciptaan dari golongan yang paling Ia kasihi, ciptaan yang tidak pernah lupa siapa Penciptanya, siapa yang memberimu kehidupan. Dan karena Tuhan terlalu menyayangi-Mu, maka Ia berusaha menyelamatkanmu agar kau tidak menjadi makhluk yang terjebak dalam kebahagiaan fana bumi yang mungkin saja bisa menjerumuskanmu ke liang jahanam. Tuhan terlalu menyayangimu hingga ia berulang kali tanpa lelah memberimu peringatan agar selalu mendekatkan diri ke sisi-Nya.

“Melalui cobaan, Tuhan membuka jalan untuk membuatmu kembali ke sisi-Nya, membuatmu agar tetap berada pada arah yang semestinya, yang sudah Ia gariskan untukmu. Karena kelak, saat kau sudah benar-benar kuat dan imanmu tak lagi goyah, Tuhan sudah menyiapkan rencana terindah-Nya untukmu.

“Sungguh, Tuhan terlalu mencintaimu”.

Aku mendadak hilang kata. Menangis sejadi-jadi-Nya. Bukan karena patah hati-ku atas manusia, tapi lebih pada alasan bahwa Djuha telah menghapus tabir kebutaanku atas kasih sayang Tuhan padaku. Tuhan, aku sungguh malu pada-Mu. Maaf.

Seolah penjelasan sebelumnya masih belum cukup memberi tamparan keras agar aku tersadar, Djuha lalu melanjutkan perkataanya lagi, masih dengan membelai rambutku lembut. Kali ini telingaku reflek terbuka lebar, karena apa yang disampaikannya merupakan jawaban atas misteri yang memburuku selama hampir dua puluh empat tahun ini.

“Kau tahu seberapa istimewanya engkau?”

Aku menggelengkan kepalaku. Sungguh aku benar-benar tidak tahu. Aku bahkan merasa aku bukan apa-apa, terlalu banyak kurangnya, jauh dari kata istimewa.

Djuha tertawa kecil, “Dua puluh tahun lebih kau dibumi dan kau masih belum sadar juga seberapa istimewanya engkau!!”, “Itu lucu! Sungguh!!!”

Ia menggigit bibirnya sebelum akhirnya memperlihatkan senyumnya padaku. Yang sungguh, benar-benar manis. Jika bukan di mimpi, pastinya aku sudah mati karena komplikasi penyakit gula. Kharisma yang terlalu membara itu lebih dari cukup untuk melelehkanku bersama dengan gunung-gunung es di Alaska.

“Kau istimewa, sayang”, senyumnya masih berbahasa, “sungguh!”, “kau mungkin tidak sadar seberapa istimewanya dirimu, tapi pastinya kau bisa memanggil ingatanmu kembali tentang berapa banyak hati manusia yang kau bahagiakan, tentang berapa banyak hati manusia yang kau tentramkan, kau sembuhkan, atau hanya sekedar membuat mereka tersenyum”.

“Kau ingat pria-pria yang meninggalkanmu?”

Aku mengangguk. Aku tidak akan pernah lupa. Daftar nama mereka masih terapung dilapisan atas memoriku.

“Sadarkah kau, betapa terpuruknya mereka sebelum mereka mengenalmu? Kau tahu benar saat mereka baru saja mengenalmu, hati mereka masih begitu rapuh.  Cinta mereka di masa lalu telah memahatkan rasa sakit yang begitu dalam, terlalu membekas untuk membuat mereka bangkit. Mereka membiarkan kenangan pahit itu menjadi daging yang dibawa-bawa ke hari-hari didepan mereka. Dan kau tahu apa yang telah kau lakukan pada hati-hati retak mereka itu??”

Aku diam. Tapi tak juga berpikir.

“Kau menyembuhkan mereka! Mengisi tiap retakan dalam hati mereka, menghujani mereka banyak alasan untuk tersenyum, untuk mengganti muram mereka dengan pendar bahagia. Kau tak tahu seberapa sering mereka kau buat kagum dengan sentuhan kasih yang kau berikan pada mereka.

“Dari caramu memahami mereka, dari caramu mempelajari apa yang bisa membuat perasaan mereka menjadi lebih baik, dari caramu menenangkan mereka, menyejukan bara amarah dan melunturkan kebencian mereka.

“ Kau terlalu penuh belas kasih. Bahkan bukan hanya pada hati-hati pria yang telah menyakitmu, namun kau memperlakukan hati-hati retak lainnya dengan cara yang sama tulusnya. Sahabat-sahabatmu, Ibumu yang pastinya kau ingat benar kepada siapa ia selalu melarikan diri dan mengadu tentang pedih yang dirasakannya, bahkan orang-orang baru yang kau temui tak luput merasakan pancaran bahagia yang kau sirami untuk manusia disekitarmu.

“Dan kau mungkin tidak sadar betapa mudahnya manusia-manusia itu bisa dekat denganmu dalam waktu singkat. Karena kau begitu hangat dan karena kau memiliki hal yang tak banyak manusia lainnya miliki.

“Kau mampu membuat mereka nyaman. “

“Jika aku sebegitu baiknya, lantas kenapa pria-pria bumi itu menyia-nyiakanku?”

Kali ini Djuha terlihat sedikit gemas, mungkin karena aku tak juga mengerti apa maksud dari semua itu. Ia memberi cubitan kecil pada hidungku. Jemarinya yang selembut sutra itu sama sekali tidak membuatku sakit, aku hanya merasakan sebatang bulu angsa menyapu puncak hidungku.

“Karena kau istimewa! Terlalu istimewa. Mereka bukannya menyia-nyiakanmu, tapi mereka memang sudah seharusnya pergi, karena masih banyak hati-hati retak yang bersembunyi dibalik luka kesepian mereka, menunggumu untuk menyembuhkannya.

“Dan karena kau terlalu istimewa, maka Tuhan tidak akan begitu saja mudahnya menitipkan hatimu pada pria bumi biasa. Jauh sebelum Tuhan menciptakanmu, Ia sudah terlebih dahulu menyiapkan seseorang yang sama istimewanya dengan dirimu, karena sesungguhnya kau terbuat dari tulang rusuknya. Karena kau adalah bagian dari dirinya maka hanya kau yang mampu membuatnya utuh. Dan kelak di waktu yang paling sempurna yang telah Tuhan pilihkan untukmu, itu akan menjadi saat dimana Tuhan mempertemukanmu kembali dengan siapa seharusnya hatimu dipercayakan. Namun sebelum itu, Tuhan masih mempercayaimu untuk terus menaburkan serbuk ajaib pada hati-hati retak yang kau temui”

“Serbuk ajaib?”

“Iya. Serbuk ajaib yang Tuhan amanahkan padamu saat kau diturunkan ke bumi.”

“Sebenarnya itu yang dari dulu ingin kuketahui. Misteri yang hingga kini tak kunjung kutemukan rahasia dibaliknya. Dan itu kadang membuatku frustasi karena aku bahkan tidak pernah melihat wujudnya. Lantas bagaimana caraku untuk menyebarkan serbuk ajaib jika kantong serbuk ajaib itu bahkan tak ada padaku!”

“Kau tidak salah, namun tak pula sepenuhnya benar. Masihkah kau tak mengerti?

“Atas semua yang kau lakukan, atas kehidupan yang telah kau sentuh, yang kau jadikan cerah hari-harinya, seperti itulah cara serbuk ajaib itu bekerja. Serbuk ajaib itu sesungguhnya sudah ada pada dirimu, di hatimu dan sesungguhnya dirimu sendirilah kantong serbuk ajaib itu. Dengan kasih sayang yang selalu ada dihatimu dihatimu, dengan cinta yang tak lelah kau tebarkan, dengan maaf yang tak habis kau beri, itulah serbuk ajaib yang Tuhan maksud. Semua itu ada didalam dirimu.

“Kini aku yakin, kau sudah paham benar seberapa istimewanya dirimu. Dan tugasku kini sudah selesai. Sudah waktunya aku pergi”




***



Saat Tuhan mengutus kita ke bumi, bisa jadi sesungguhnya kita merupakan kantong berisikan serbuk ajaib bagi orang-orang disekitar kita. Dan saat Tuhan memberi kita cobaan itu bukan karena Tuhan membenci kita, tapi justru karena Tuhan terlalu mencintai kita. Kita hanya perlu mengingat, bahwa kita…istimewa.

(ADR)











No comments:

Post a Comment