ABOUT

ABOUT

Saturday, June 16, 2012

Dera (Beautiful Sins, Fool Brain)



“as my feeling bloom, these sins turn into a beautiful prickly rose. deal with the death,
'cause in the end I'll be the one who stand alone”
-adr-


Adalah Dera, nama yang pria itu ciptakan untuknya. Pria itu memang suka menyingkat-nyingkat nama sepertinya, karena ia juga melakukan hal yang sama pada namanya. Nama panjang pria itu terdiri dari tiga kata, dan untuk akronim nama panggilannya itu, ia ambil tiap inisial dari kata pertama dan kata kedua lalu ia disatukan dengan  dua huruf terakhir dari kata belakang pada namanya, yang kemudian ia sempurnakan dengan menyelipkan huruf pertama dari nama belakangnya itu.  Walaupun terdengar sedikit tidak lazim untuk sebuah nama panggilan, tapi wanita yang kini sering ia sebut Dera itu entah kenapa begitu menyukai nya. Rasanya seperti ada kesan manja yang merasuki akronim nama pria itu, tiap kali lidah wanita itu menggeliat begitu harmonis dengan gerak bersinggungan antara bibir atas-bibir bawah saat menyerukan nama pria beralis tebal itu.

Menyelesaikan program strata satu dalam waktu tiga tahun, dengan IPK 3.64, cum laude. Kau mungkin berpikir, orang yang memiliki prestasi seperti itu pastilah pintar, atau well…minimal tidak bodoh. Dan orang yang pintar itu biasanya tahu bagaimana mendistribusikan kemampuan otaknya dengan baik. Sayangnya, hal yang baik itu belum tentu selalu benar.  Percaya atau tidak, historical academic yang disebutkan tadi adalah prestasi yang telah Dera  raih beberapa tahun lalu. Dera mungkin tidak bodoh, namun faktanya ia juga tidak cukup pintar. Karena nyatanya ia tidak mampu menggunakan otaknya dengan benar, khususnya untuk satu hal, ‘HIM’.

Dera sadar kalau ia sudah benar-benar keluar dari zona pertemanan, tepat kali pertama ego-nya dibuat lumpuh menunduk pasrah. Disini jelas telah terjadi pergeseran perilaku diluar kewajaran seorang Dera. Wanita yang lebih suka didengar daripada mendengar itu, dibuat berkali lipat lebih peka pendengarannya tiap kali ‘HIM’ mengepakan sisi dominan dalam ikatan yang tak lagi bisa dibilang pertemanan itu. Petisi pria itu layaknya paket kilat yang diserap (bukan lagi didorong) masuk ke telinga dengan kekuatan supersonic, menendang otak begitu keras, memecut saraf motorik untuk sesegera mungkin menerjemahkan petisi dalam bentuk yang lebih tangible. Dalam hal ini biasanya lebih ke arah tindakan. Dan Dera sadar bahwa akan ada banyak cabang permasalahan yang mungkin tumbuh dari kepatuhan instan berakar muda itu. Karena, nyatanya sudah ada wanita lain yang jauh lebih dulu mengisi celah-celah jari pria itu, sebelum mereka bertemu.

Rasa yang kian menggebu nyatanya hanya mampu membuat logika menjadi kian keruh. Benar saja, semakin baik Dera gunakan otaknya untuk mendata tiap-tiap resiko, probabilitas pahit yang satu persatu muncul ke permukaan membuatnya kian sadar, bahwa ia semakin tak sanggup (lebih tepatnya tidak rela) mengolah pola pikirnya itu dengan benar. Karena ia tahu, saat ia benarkan logika, jalan pintas menuju akhir cerita akan seketika terbuka lebar dihadapannya. Mengantarnya pada kesimpulan dini. Perpisahan.


Terkadang menjadi bodoh (read: pura-pura gak tau) itu bisa jadi senjata untuk ngulur pembenaran teori "nothing last forever". tapi, sekali kita berlari, seterusnya akan jadi pelari...


*Dera berlari*




No comments:

Post a Comment