“as my feeling bloom, these sins turn into
a beautiful prickly rose. deal with the death,
'cause in the end I'll be the one who
stand alone”
-adr-
Menyelesaikan program strata
satu dalam waktu tiga tahun, dengan IPK 3.64, cum laude. Kau mungkin berpikir, orang
yang memiliki prestasi seperti itu pastilah pintar, atau well…minimal tidak
bodoh. Dan orang yang pintar itu biasanya tahu bagaimana mendistribusikan
kemampuan otaknya dengan baik. Sayangnya, hal yang baik itu belum tentu selalu benar.
Percaya atau tidak, historical academic
yang disebutkan tadi adalah prestasi yang telah Dera raih beberapa tahun lalu. Dera mungkin tidak
bodoh, namun faktanya ia juga tidak cukup pintar. Karena nyatanya ia tidak
mampu menggunakan otaknya dengan benar, khususnya untuk satu hal, ‘HIM’.
Dera sadar kalau ia
sudah benar-benar keluar dari zona pertemanan, tepat kali pertama ego-nya
dibuat lumpuh menunduk pasrah. Disini jelas telah terjadi pergeseran perilaku
diluar kewajaran seorang Dera. Wanita yang lebih suka didengar daripada
mendengar itu, dibuat berkali lipat lebih peka pendengarannya tiap kali ‘HIM’
mengepakan sisi dominan dalam ikatan yang tak lagi bisa dibilang pertemanan itu.
Petisi pria itu layaknya paket kilat yang diserap (bukan lagi didorong) masuk ke
telinga dengan kekuatan supersonic, menendang otak begitu keras, memecut saraf
motorik untuk sesegera mungkin menerjemahkan petisi dalam bentuk yang lebih
tangible. Dalam hal ini biasanya lebih ke arah tindakan. Dan Dera sadar bahwa akan
ada banyak cabang permasalahan yang mungkin tumbuh dari kepatuhan instan
berakar muda itu. Karena, nyatanya sudah ada wanita lain yang jauh lebih dulu
mengisi celah-celah jari pria itu, sebelum mereka bertemu.
Rasa yang kian menggebu
nyatanya hanya mampu membuat logika menjadi kian keruh. Benar saja, semakin
baik Dera gunakan otaknya untuk mendata tiap-tiap resiko, probabilitas pahit yang
satu persatu muncul ke permukaan membuatnya kian sadar, bahwa ia semakin tak
sanggup (lebih tepatnya tidak rela) mengolah pola pikirnya itu dengan benar.
Karena ia tahu, saat ia benarkan logika, jalan pintas menuju akhir cerita akan
seketika terbuka lebar dihadapannya. Mengantarnya pada kesimpulan dini. Perpisahan.
Terkadang
menjadi bodoh (read: pura-pura gak tau) itu bisa jadi senjata untuk ngulur
pembenaran teori "nothing last forever". tapi, sekali kita berlari,
seterusnya akan jadi pelari...
*Dera berlari*
No comments:
Post a Comment