Aku tidak pernah benar-benar percaya bahwa malaikat itu ada. Karena aku
lebih mempercayai apa yang dikatakan mata, karena hati terlalu pintar
mengelabui intuisi hingga terkadang nalarku dibuat tertidur olehnya.
Yah..mungkin karena terlalu sering dibuat kecewa dengan tipuan-tipuan yang
dikatakan hati, hingga aku sampai di puncak lelah dan memilih untuk mengabaikan
perkataan hati kemudian memaksa nalarku senyala-nyalanya melalui apa yang
tertangkap oleh kedua mataku. “Real eyes
realize real lies”, ya..aku mengunci hatiku rapat-rapat dengan slogan yang
melekat di otakku itu, agar nalar terbuka lebar.
Ternyata Tuhan menciptakan hati bukan tanpa alasan. Nalar memang penting,
karena itu yang membedakan manusia dengan binatang. Namun, ternyata hatilah
yang memanusiakan manusia itu sendiri. Dan layaknya manusia yang diciptakan
berbatas oleh Sang Maha, ada hal yang luput dari pengetahuanku.
Tuhan tidak pernah memberitahuku bahwa yang istimewa hanya bisa dilihat
dengan cara yang sama istimewanya. Bukan dengan telanjang mata, tapi melalui
maha karya Tuhan yang sengaja Ia ciptakan untuk mengembalikan fitrah kita
sebagai manusia yang seutuhnya. Untuk merasakan apa yang tidak bisa dirasakan
oleh mata, karena sebenarnya mampunya mata hanya sebatas melihat, bukan
merasakan. Dan untuk melihat malaikat, kita hanya perlu merasakan
keberadaannya. Bukan dengan mata, tapi hati.
Dan saat akhirnya hatiku terbuka lebar, ternyata sosok utusan Tuhan yang
teristimewa itu tidak pernah jauh dariku, hanya saja aku tak pernah
menyadarinya. Melalui hati, aku akhirnya bisa melihat sosok malaikat itu,
bahkan bila dalam mata terpejam sekalipun. Malaikat itu bernama “Ibu”.
Ibuku adalah malaikat bagiku. Aku tahu, ia tak sesempurna
malaikat-malaikat lain yang sering digaungkan mitos-mitos nenek moyang, karena
ia bahkan tak punya sayap pada punggungnya. Namun aku tahu ia diciptakan begitu
istimewa. Karena Tuhan menganugerahinya sebuah hati. Perasaan yang membuatnya
terlihat lebih rapuh dari malaikat pada umumnya. Namun sesungguhnya itu bukan
rapuh. Itu adalah air mata. Ia berdoa untukku dalam tiap tetes air matanya. Dan
dari tiap keberuntungan yang aku terima, aku percaya itu adalah doa-doanya yang
didengar Tuhan. Ia adalah kuatku, yang akan tertawa untuk bahagiaku, menangis
untuk pedihku, dan rela memberikan raga serta jiwa, jika itu harus.
Kemudian, aku percaya malaikat itu, ada.
Adalah saat
aku dibuat jatuh cinta pada makhluk ciptaan Tuhan bernama pria. Ada kekuatan
maha dashyat pada pesona pria itu yang memabukanku, hingga aku menjadi begitu tuli
untuk mendengarkan nasehat ibu.
Suatu ketika
aku bertengkar hebat dengan ibuku. Ia bersikeras bahwa pria itu tidak baik
untukku. Ini bukan pertama kalinya ia menjejali telingaku dengan presepsi-presepsi
negatif tentang pria yang kucintai itu. Dan seperti biasa, aku yang sedang
digilai cinta jelas membela mati-matian seolah pria itu lebih pekat dari ikatan
lahiriah yang mengalir dalam darahku. Dengan sadar, aku menghujaninya dengan
puluhan kata tajam yang bahkan buatku tega mengabaikan naluri bahwa aku tahu
seberapa perih batin ibuku teriris.
Aku yang
masih terlalu muda kala itu terlalu dibutakan cinta dan menjadi pemberontak
kecil yang melebihi kerasnya batu. Usai bertengkar, secara sepihak aku
mendeklarasikan perang dingin dengan membanting pintu kamarku sekeras yang bisa
kulakukan, kemudian mengunci diri didalamnya.
Keesokan
harinya, aku pergi pagi-pagi sekali. Ayahku sempat bertanya, mau kemana aku pergi
sepagi itu dan aku menjawab bahwa aku ada project khusus dengan temanku untuk
membuat desain poster. Aku berbohong. Aku tidak menemui temanku untuk
mengerjakan project desain. Aku hanya memakai alasan itu agar bisa menemui pria
yang membuatku seolah hanya dia saja alasanku hidup.
Sesaat
sebelum pergi, aku tidak bisa menepis bahwa aku sedikit penasaran kemana ibuku
pergi kala itu. Mataku sudah menjama seluruh ruang namun tetap tak dapat
kutemui sosoknya. Aku tahu ibuku sudah melarangku untuk bersama pria itu tapi
ego yang masih meletupkan amarahku ternyata belum menyerah. Aku tetap pergi.
Layaknya
orang yang baru mengenal cinta, aku dibuat bahagia sebahagianya oleh pria itu. Ia
benar-benar memanjakanku dan membuatku seolah wanita paling beruntung sedunia. Perlakuan
istimewanya membuatku jatuh cinta berkali-kali pada tiap detik yang kami
habiskan bersama hingga kami terbuai waktu. Tak sadar hari sudah larut malam
saja. Ibuku beberapa kali menghubungiku dan mengirimi beberapa pesan singkat
menanyakan keberadaanku. Aku mengabaikannya. Aku masih terlalu marah, atau
mungkin lebih tepatnya aku terlalu menikmati kebersamaanku dengan pria itu.
‘Jddrrrrr...’ serupa petir, hati disambar kenyataan. Saat
aku dan pria itu menikmati malam indah kami, seorang wanita tiba-tiba menghampiriku
dan melayangkan tamparan ke pipiku. Mungkin benar perihal kadang kita harus
ditampar Tuhan dulu baru kita sadar bahwa kita berada di jalur yang salah.
Malam itu
aku baru tahu, bahwa pria yang kucintai ternyata sudah memiliki pasangan. Belum
cukup terluka dengan kenyataan yang disembunyikan pria itu dariku, ternyata
luka masih harus dibuat lebih menganga karena pria itu meninggalkanku begitu
saya dan lebih memilih untuk mengejar wanita yang menamparku itu tanpa
sepontong maaf pun dari mulutnya.
Aku pulang
larut malam itu. Melewati batas jam pulang malamku dan pastinya orang-orang
dirumahku sudah pulas. Ternyata aku salah. Ibuku masih terjaga. Ia yang
membukakan pintu untukku. Dari raut wajahnya ia terlihat begitu mengkhawatirkanku.
Ia menanyaiku dimana aku seharian tadi dan kenapa pulang selarut itu. Aku
menjawab seadanya sambil berlalu masuk ke kamar dan membanting pintu kamarku,
lagi.
Paginya aku
sedikit merendahkan egoku dengan menyantap masakan ibu. Biasanya tiap kali
marah, aku akan lebih memilih mati kelaparan daripada harus memakan masakannya.
Aku terlalu keras kepala untuk mengalah padanya. Namun, lagi, pagi itu pun aku
tidak melihat ibu di meja makan.
Aku bertanya
pada ayah dan seketika hati dibuat berdesir. Egoku mendadak bertekuk lutut
bersama runtuhnya amarahku.
Ibuku jatuh
sakit. Vertigonya kambuh pagi tadi selepas membuatkanku sarapan. Ayah sudah
melarang ibu untuk turun ke dapur karena sebenarnya kondisi kesehatan ibu
memburuk sejak dua hari lalu. Namun ibu tetap bersikeras. Ibu khawatir saat
semalaman aku pergi kemarin, aku lupa makan, dan ibu takut kalau-kalau aku
jatuh sakit.
Masih di
hari yang sama, pertanyaan terbesarku pagi sebelumnya juga terjawab jelas. Ternyata
alasan kenapa aku tidak melihat ibu sesaat sebelum aku pergi kemarin karena ibu
sibuk mempersiapkan jamuan makan istimewa untukku.
“Tadi
pagi-pagi banget bude ketemu mamahnya Mbak Deasy (Ibuku). Rajin yah pagi-pagi
udah ke pasar padahal jalannya aja udah ingklek-ingklekan gitu, diseret.
Nyari-nyari ojek nggak ketemu-temu,” kata bude depan rumah saat tanpa sengaja
bertemu didepan rumahku. “Iya katanya mau masak kesukaan Mbak Deasy. Mbak Deasy
kemarin ulang tahun ya katanya?”, lanjutnya.
Sementara
itu pengakuan lain Ayah tak kalah membuatku terkejut. “Kamu kemana aja seharian
kemarin? Kamu nggak kasian sama mamah? Mamah pagi-pagi buta udah bela-belain ke
pasar padahal lagi sakit-sakitan cuma buat kamu. Seharian di dapur masak ini
itu, semua buat kamu. Mamah tuh nungguin kamu seharian sampai sempet ketiduran
di meja makan. Mamah tuh berharap banget bisa makan malem bareng buat ngerayain
ulang tahun kamu, tapi kamu malah pergi seharian nggak tau kemana,” jelas Ayah.
“Mamah itu sayang banget sama kamu, Des. Dan kamu harusnya sadar, Mamah
sekarang udah tua. Sakit-sakitan juga. Cobalah kamu kurangin sedikit aja ego
kamu. Kamu nggak kasian sama Mamah? Bisa kan kalau kamu pergi ngabarin atau
balas sms, biar nggak bikin orang-orang rumah khawatir?”, tegur Ayah.
Yaa..Tuhan.
Sungguh aku berdosa. Aku benar-benar telah dibutakan cinta masa remajaku sampai
cinta yang sesungguhnya saja aku tidak sadar. Aku benar-benar merasa berdosa
sudah tidak mendengarkan nasehat ibu tentang pria itu. Aku berdosa karena aku
telah berbohong. Aku berdosa karena telah membuat orang-orang rumah khawatir.
Aku berdosa karena telah menyakiti perasaan ibuku dengan kata-kata yang tak
sepantasnya. Aku berdosa karena telah membuat kondisi kesehatan ibuku makin buruk.
Aku terlalu berdosa karena tidak menyadari betapa sesungguhnya ibu telah melimpahkan
begitu banyak kasih sayang yang tak terhitung untukku.
Malam itu
aku tidur di kamar ibuku. Menemaninya yang terbaring sakit. Jaga-jaga
kalau-kalau ia membutuhkan sesuatu. Demamnya masih tinggi.
Di sepertiga
malam samar-samar aku mendengar suara wanita menangis terisak. Tak butuh waktu
lama untukku mengenali dari mana suara tangis itu berasal. Masih dalam mata
terpejam sementara sadarku terjaga sepenuhnya, aku mendengar ibuku melantunkan
doa-doa atas namaku. Yaa Tuhan...inikah wanita yang kumaki? Wanita yang telah
kuperlakukan buruk??
Ibu menyebut
namaku berkali-kali dalam doa-doanya. Tak ada rasa benci atau dendam sedikitpun
dalam doanya, padahal aku sudah berlaku begitu buruk dan pastinya Tuhan akan
mengiyakan doanya kalaupun Ibu mau mengutukku. Tapi, tidak. Ibu malah menangis
memohon kebahagiaan untukku, salah satunya ia memohon agar Tuhan menitipkanku
pada pria yang baik. Ia begitu takut bila aku sampai jatuh pada pria yang
salah. Ia berdoa agar firasatnya bahwa aku masih bersama pria yang menurutnya
bukan pria baik itu salah, kalaupun benar masih bersama, Ibu memohon semoga
firasatnya selama ini salah dan bahwa ternyata pria itu adalah pria yang baik
untukku. Yaa Tuhan...hati serasa dicambuk. Bagaimana mungkin aku bisa membenci
wanita yang begitu memujaku dalam doa-doanya?
Malam itu
Tuhan telah membukakan hatiku. Terimakasih Tuhan, karena telah menitipkanku
pada wanita istimewa ini. Malaikatku, Ibu. I love you, Mom.
Dan..air
mataku masih berlarian deras.
----
Terimakasih
mah untuk semua kesabaran atas kesedihan yang tak sebentar. Karena tidak pernah
putus asa, menyerah untuk meyakinkanku mana yang baik dan yang buruk.
Terimakasih
untuk semua maaf yang tak pernah habis, sekalipun aku masih akan mengulangi
kesalahan yang sama. Untuk tidak pernah membenciku, melainkan terus menghujaniku
kasih sayang yang berlimpah.
Terimakasih
atas semua doa yang tak pernah henti-hentinya mamah nyanyikan untukku. Karena, aku
percaya bahwa tiap keberuntungan yang Tuhan berikan untukku adalah jawaban dari
doa-doa mamah yang didengar Tuhan.
Happy mothers day, Mom. I love you,
HUGE. Always. (Adr).
No comments:
Post a Comment