ABOUT

ABOUT

Monday, December 22, 2014

“Imperfection Angel, Called Mom”


Aku tidak pernah benar-benar percaya bahwa malaikat itu ada. Karena aku lebih mempercayai apa yang dikatakan mata, karena hati terlalu pintar mengelabui intuisi hingga terkadang nalarku dibuat tertidur olehnya. Yah..mungkin karena terlalu sering dibuat kecewa dengan tipuan-tipuan yang dikatakan hati, hingga aku sampai di puncak lelah dan memilih untuk mengabaikan perkataan hati kemudian memaksa nalarku senyala-nyalanya melalui apa yang tertangkap oleh kedua mataku. “Real eyes realize real lies”, ya..aku mengunci hatiku rapat-rapat dengan slogan yang melekat di otakku itu, agar nalar terbuka lebar.

Ternyata Tuhan menciptakan hati bukan tanpa alasan. Nalar memang penting, karena itu yang membedakan manusia dengan binatang. Namun, ternyata hatilah yang memanusiakan manusia itu sendiri. Dan layaknya manusia yang diciptakan berbatas oleh Sang Maha, ada hal yang luput dari pengetahuanku.

Tuhan tidak pernah memberitahuku bahwa yang istimewa hanya bisa dilihat dengan cara yang sama istimewanya. Bukan dengan telanjang mata, tapi melalui maha karya Tuhan yang sengaja Ia ciptakan untuk mengembalikan fitrah kita sebagai manusia yang seutuhnya. Untuk merasakan apa yang tidak bisa dirasakan oleh mata, karena sebenarnya mampunya mata hanya sebatas melihat, bukan merasakan. Dan untuk melihat malaikat, kita hanya perlu merasakan keberadaannya. Bukan dengan mata, tapi hati.

Dan saat akhirnya hatiku terbuka lebar, ternyata sosok utusan Tuhan yang teristimewa itu tidak pernah jauh dariku, hanya saja aku tak pernah menyadarinya. Melalui hati, aku akhirnya bisa melihat sosok malaikat itu, bahkan bila dalam mata terpejam sekalipun. Malaikat itu bernama “Ibu”.

Ibuku adalah malaikat bagiku. Aku tahu, ia tak sesempurna malaikat-malaikat lain yang sering digaungkan mitos-mitos nenek moyang, karena ia bahkan tak punya sayap pada punggungnya. Namun aku tahu ia diciptakan begitu istimewa. Karena Tuhan menganugerahinya sebuah hati. Perasaan yang membuatnya terlihat lebih rapuh dari malaikat pada umumnya. Namun sesungguhnya itu bukan rapuh. Itu adalah air mata. Ia berdoa untukku dalam tiap tetes air matanya. Dan dari tiap keberuntungan yang aku terima, aku percaya itu adalah doa-doanya yang didengar Tuhan. Ia adalah kuatku, yang akan tertawa untuk bahagiaku, menangis untuk pedihku, dan rela memberikan raga serta jiwa, jika itu harus.

Kemudian, aku percaya malaikat itu, ada.


 ***

Adalah saat aku dibuat jatuh cinta pada makhluk ciptaan Tuhan bernama pria. Ada kekuatan maha dashyat pada pesona pria itu yang memabukanku, hingga aku menjadi begitu tuli untuk mendengarkan nasehat ibu.

Suatu ketika aku bertengkar hebat dengan ibuku. Ia bersikeras bahwa pria itu tidak baik untukku. Ini bukan pertama kalinya ia menjejali telingaku dengan presepsi-presepsi negatif tentang pria yang kucintai itu. Dan seperti biasa, aku yang sedang digilai cinta jelas membela mati-matian seolah pria itu lebih pekat dari ikatan lahiriah yang mengalir dalam darahku. Dengan sadar, aku menghujaninya dengan puluhan kata tajam yang bahkan buatku tega mengabaikan naluri bahwa aku tahu seberapa perih batin ibuku teriris.

Aku yang masih terlalu muda kala itu terlalu dibutakan cinta dan menjadi pemberontak kecil yang melebihi kerasnya batu. Usai bertengkar, secara sepihak aku mendeklarasikan perang dingin dengan membanting pintu kamarku sekeras yang bisa kulakukan, kemudian mengunci diri didalamnya.

Keesokan harinya, aku pergi pagi-pagi sekali. Ayahku sempat bertanya, mau kemana aku pergi sepagi itu dan aku menjawab bahwa aku ada project khusus dengan temanku untuk membuat desain poster. Aku berbohong. Aku tidak menemui temanku untuk mengerjakan project desain. Aku hanya memakai alasan itu agar bisa menemui pria yang membuatku seolah hanya dia saja alasanku hidup.

Sesaat sebelum pergi, aku tidak bisa menepis bahwa aku sedikit penasaran kemana ibuku pergi kala itu. Mataku sudah menjama seluruh ruang namun tetap tak dapat kutemui sosoknya. Aku tahu ibuku sudah melarangku untuk bersama pria itu tapi ego yang masih meletupkan amarahku ternyata belum menyerah. Aku tetap pergi.

Layaknya orang yang baru mengenal cinta, aku dibuat bahagia sebahagianya oleh pria itu. Ia benar-benar memanjakanku dan membuatku seolah wanita paling beruntung sedunia. Perlakuan istimewanya membuatku jatuh cinta berkali-kali pada tiap detik yang kami habiskan bersama hingga kami terbuai waktu. Tak sadar hari sudah larut malam saja. Ibuku beberapa kali menghubungiku dan mengirimi beberapa pesan singkat menanyakan keberadaanku. Aku mengabaikannya. Aku masih terlalu marah, atau mungkin lebih tepatnya aku terlalu menikmati kebersamaanku dengan pria itu.

‘Jddrrrrr...’  serupa petir, hati disambar kenyataan. Saat aku dan pria itu menikmati malam indah kami, seorang wanita tiba-tiba menghampiriku dan melayangkan tamparan ke pipiku. Mungkin benar perihal kadang kita harus ditampar Tuhan dulu baru kita sadar bahwa kita berada di jalur yang salah.

Malam itu aku baru tahu, bahwa pria yang kucintai ternyata sudah memiliki pasangan. Belum cukup terluka dengan kenyataan yang disembunyikan pria itu dariku, ternyata luka masih harus dibuat lebih menganga karena pria itu meninggalkanku begitu saya dan lebih memilih untuk mengejar wanita yang menamparku itu tanpa sepontong maaf pun dari mulutnya.

Aku pulang larut malam itu. Melewati batas jam pulang malamku dan pastinya orang-orang dirumahku sudah pulas. Ternyata aku salah. Ibuku masih terjaga. Ia yang membukakan pintu untukku. Dari raut wajahnya ia terlihat begitu mengkhawatirkanku. Ia menanyaiku dimana aku seharian tadi dan kenapa pulang selarut itu. Aku menjawab seadanya sambil berlalu masuk ke kamar dan membanting pintu kamarku, lagi.

Paginya aku sedikit merendahkan egoku dengan menyantap masakan ibu. Biasanya tiap kali marah, aku akan lebih memilih mati kelaparan daripada harus memakan masakannya. Aku terlalu keras kepala untuk mengalah padanya. Namun, lagi, pagi itu pun aku tidak melihat ibu di meja makan.

Aku bertanya pada ayah dan seketika hati dibuat berdesir. Egoku mendadak bertekuk lutut bersama runtuhnya amarahku.

Ibuku jatuh sakit. Vertigonya kambuh pagi tadi selepas membuatkanku sarapan. Ayah sudah melarang ibu untuk turun ke dapur karena sebenarnya kondisi kesehatan ibu memburuk sejak dua hari lalu. Namun ibu tetap bersikeras. Ibu khawatir saat semalaman aku pergi kemarin, aku lupa makan, dan ibu takut kalau-kalau aku jatuh sakit.

Masih di hari yang sama, pertanyaan terbesarku pagi sebelumnya juga terjawab jelas. Ternyata alasan kenapa aku tidak melihat ibu sesaat sebelum aku pergi kemarin karena ibu sibuk mempersiapkan jamuan makan istimewa untukku.

“Tadi pagi-pagi banget bude ketemu mamahnya Mbak Deasy (Ibuku). Rajin yah pagi-pagi udah ke pasar padahal jalannya aja udah ingklek-ingklekan gitu, diseret. Nyari-nyari ojek nggak ketemu-temu,” kata bude depan rumah saat tanpa sengaja bertemu didepan rumahku. “Iya katanya mau masak kesukaan Mbak Deasy. Mbak Deasy kemarin ulang tahun ya katanya?”, lanjutnya.

Sementara itu pengakuan lain Ayah tak kalah membuatku terkejut. “Kamu kemana aja seharian kemarin? Kamu nggak kasian sama mamah? Mamah pagi-pagi buta udah bela-belain ke pasar padahal lagi sakit-sakitan cuma buat kamu. Seharian di dapur masak ini itu, semua buat kamu. Mamah tuh nungguin kamu seharian sampai sempet ketiduran di meja makan. Mamah tuh berharap banget bisa makan malem bareng buat ngerayain ulang tahun kamu, tapi kamu malah pergi seharian nggak tau kemana,” jelas Ayah. “Mamah itu sayang banget sama kamu, Des. Dan kamu harusnya sadar, Mamah sekarang udah tua. Sakit-sakitan juga. Cobalah kamu kurangin sedikit aja ego kamu. Kamu nggak kasian sama Mamah? Bisa kan kalau kamu pergi ngabarin atau balas sms, biar nggak bikin orang-orang rumah khawatir?”, tegur Ayah.

Yaa..Tuhan. Sungguh aku berdosa. Aku benar-benar telah dibutakan cinta masa remajaku sampai cinta yang sesungguhnya saja aku tidak sadar. Aku benar-benar merasa berdosa sudah tidak mendengarkan nasehat ibu tentang pria itu. Aku berdosa karena aku telah berbohong. Aku berdosa karena telah membuat orang-orang rumah khawatir. Aku berdosa karena telah menyakiti perasaan ibuku dengan kata-kata yang tak sepantasnya. Aku berdosa karena telah membuat kondisi kesehatan ibuku makin buruk. Aku terlalu berdosa karena tidak menyadari betapa sesungguhnya ibu telah melimpahkan begitu banyak kasih sayang yang tak terhitung untukku.

Malam itu aku tidur di kamar ibuku. Menemaninya yang terbaring sakit. Jaga-jaga kalau-kalau ia membutuhkan sesuatu. Demamnya masih tinggi.

Di sepertiga malam samar-samar aku mendengar suara wanita menangis terisak. Tak butuh waktu lama untukku mengenali dari mana suara tangis itu berasal. Masih dalam mata terpejam sementara sadarku terjaga sepenuhnya, aku mendengar ibuku melantunkan doa-doa atas namaku. Yaa Tuhan...inikah wanita yang kumaki? Wanita yang telah kuperlakukan buruk??

Ibu menyebut namaku berkali-kali dalam doa-doanya. Tak ada rasa benci atau dendam sedikitpun dalam doanya, padahal aku sudah berlaku begitu buruk dan pastinya Tuhan akan mengiyakan doanya kalaupun Ibu mau mengutukku. Tapi, tidak. Ibu malah menangis memohon kebahagiaan untukku, salah satunya ia memohon agar Tuhan menitipkanku pada pria yang baik. Ia begitu takut bila aku sampai jatuh pada pria yang salah. Ia berdoa agar firasatnya bahwa aku masih bersama pria yang menurutnya bukan pria baik itu salah, kalaupun benar masih bersama, Ibu memohon semoga firasatnya selama ini salah dan bahwa ternyata pria itu adalah pria yang baik untukku. Yaa Tuhan...hati serasa dicambuk. Bagaimana mungkin aku bisa membenci wanita yang begitu memujaku dalam doa-doanya?

Malam itu Tuhan telah membukakan hatiku. Terimakasih Tuhan, karena telah menitipkanku pada wanita istimewa ini. Malaikatku, Ibu. I love you, Mom.

Dan..air mataku masih berlarian deras.

----
Terimakasih mah untuk semua kesabaran atas kesedihan yang tak sebentar. Karena tidak pernah putus asa, menyerah untuk meyakinkanku mana yang baik dan yang buruk.

Terimakasih untuk semua maaf yang tak pernah habis, sekalipun aku masih akan mengulangi kesalahan yang sama. Untuk tidak pernah membenciku, melainkan terus menghujaniku kasih sayang yang berlimpah.

Terimakasih atas semua doa yang tak pernah henti-hentinya mamah nyanyikan untukku. Karena, aku percaya bahwa tiap keberuntungan yang Tuhan berikan untukku adalah jawaban dari doa-doa mamah yang didengar Tuhan.
Happy mothers day, Mom. I love you, HUGE. Always. (Adr).
 






No comments:

Post a Comment